Perjalanan Mengenal Lebih Dalam Suku Baduy Luar dan Baduy Dalam
Hai Sahabat kali ini saya akan berbagi cerita sebagai negara yang kaya akan seni dan budaya, Indonesia dihuni berbagai
macam suku yang menetap di segala pelosok nusantara. Kearifan lokal
serta adat istiadatnya menjaga kelestarian alam Indonesia hingga mampu
terjaga dengan baik dan bersinergi dengan alam. nah, yang saya kan ceritakan ini adalah sebuah suku yang berada di Jawa Barat langsung simak aja yuk ceritanya.
Siapa yang belum mengenal suku Baduy dalam? Suku pedalaman yang berada di Provinsi Banten. Di tengah kemajuan teknologi, suku Baduy dalam masih mempertahankan kearifan lokalnya. Memegang teguh budaya dan adat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Menampik segala kemewahan teknologi dan hidup dengan bersahaja di lingkungan, serba manual dan tidak tergiur oleh perkembangan teknologi.
Perkampungan suku baduy luar dan baduy dalam sudah menjadi salah satu tujuan wisata. Tujuan saya datang ke tempat ini tak lain adalah ingin mengetahui kehidupan suku baduy dalam, ingin belajar lebih dalam tentang budaya. Tempat ini juga sering didatangi oleh rombongan wisatawan, para siswa dari berbagai sekolah dan tak mau ketinggalan para mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia.
Siapa yang belum mengenal suku Baduy dalam? Suku pedalaman yang berada di Provinsi Banten. Di tengah kemajuan teknologi, suku Baduy dalam masih mempertahankan kearifan lokalnya. Memegang teguh budaya dan adat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Menampik segala kemewahan teknologi dan hidup dengan bersahaja di lingkungan, serba manual dan tidak tergiur oleh perkembangan teknologi.
Perkampungan suku baduy luar dan baduy dalam sudah menjadi salah satu tujuan wisata. Tujuan saya datang ke tempat ini tak lain adalah ingin mengetahui kehidupan suku baduy dalam, ingin belajar lebih dalam tentang budaya. Tempat ini juga sering didatangi oleh rombongan wisatawan, para siswa dari berbagai sekolah dan tak mau ketinggalan para mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia.
Akses Menuju Desa Suku Baduy
Untuk menjangkau desa suku Baduy kita harus menempuh perjalanan sekitar 160 kilometer dari Jakarta atau sekitar 4 hingga 5 jam. ada dua transportasi untuk menuju desa suku Baduy menggunakan transportasi Kerata api dan menggunakan bus. Dan kali ini saya akan memberikan informasi terkait cara menuju suku baduy lebih detainya.
Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan.
- Menggunakan Kereta Api KRL
- Menggunakan Bus
Jika sahabat ingin menggunakan bus dari Jakarta bisa langsung ke terminal Kampung Rambutan dan pilihlah bus yang rutenya ke terminal Serang atau Terminal Merak Banten. kemudian kita bisa turun di terminal serang lalu melanjutkan perjalanan naik bus jurusan Labuan Tarogong.
Sesampainya di perempatan Kadubanen, kita harus turun dan melanjutkan perjalanan menuju terminal Mandala. Dari Terminal Mandala kita harus naik kenadaraan umum berupa Elf untuk menuju Ciboleger. Ciboleger merupakan pintu gerbang menuju desa Suku Baduy.
Suku baduy bermukim tepat di kaki pegunungan
Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak,
Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian
300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi
berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai
45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di
bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata
20 °C.
Sejarah Suku Baduy
Sebutan Baduy merupakan sebutan yang
diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut,
berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang
merupakan masyarakat yang berpindah-pindah. Kemungkinan lain
adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian
utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri
sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka.
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek a–Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa
Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari
sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga
adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya
tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan
dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke
bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam
sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan
keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau
asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para
ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari
beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut
Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang
cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan
Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan
Pajajaran (sekitar Bogor sekarang).
Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan.
Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara
kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan
berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.
Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya
menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami
wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja,
2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa
yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang
mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan
musuh-musuh Pajajaran.
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan
berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada
perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan
Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau
ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang
Kanekes
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota
masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di
kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air
hujan.
Baduy Dalam memiliki tiga kampung yang bertugas mengakomodir kebutuhan dasar yang di perlukan semua masyarakat Suku Baduy. Tiga kampung Baduy Dalam memiliki makna penugasan adat. Tiga kampung Baduy Dalam ini adalah Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik.
Setiap pu’un di Baduy Dalam memiliki wewenang yang berbeda.
Baduy Dalam memilih mempertahankan gaya hidup tradisional mereka sebagai masyarakat agraris. Teknologi modern dibatasi dan aktivitas bertani dilakukan secara tradisional. Mereka hanya memakai segelintir alat pertanian, seperti bedog (golok), arit, kored(cangkul kecil), etem (sejenis ani-ani), dan pisau.
Keteguhan masyarakat Baduy menjaga keseimbangan alam patut dicontoh oleh yang tinggal di kota besar. Larangan dan tabu itu jika ditelisik secara ilmiah ada manfaat positifnya, misal larangan mandi menggunakan sabun, odol, sampo. Bahan-bahan kimia dari cairan itu menyebabkan pencemaran air, limbah plastik kemasannya pun sulit diurai oleh tanah dan mengganggu keseimbangan alam.
Baduy Dalam menggunakan baju dan ikat kepala Putih
Baduy Dalam tidak boleh menggunakan kendaran, tidak boleh menggunakan peralatan elektronik dan sabun, tidak boleh menggunakan alas kaki, dan pintu rumah harus menghadap ke selatan
Baduy dalam masyarakatnya tidak mengenal pendidikan sekolah dan masyarakat tidak diperbolehkan menggunakan uang.
Dalam prosesi pernikahan, pasangan Baduy dikenal menikah dengan cara
perjodohan. Orangtua laki-laki akan menjalin hubungan dengan orangtua
wanita dan memperkenalkan anak mereka masing-masing. Setelah sepakat,
mereka melakukan tiga langkah penyiangan untuk menyelesaikan.
Langkah pertama, orangtua pria akan pergi ke Jaro (Kepala Desa) dengan daun pinang. Kemudian membawa barang-barang seserahan yang di dalamnya terdapat cincin baja putih sebagai mas kawin. Setelah itu, ada beberapa alat untuk rumah tangga dan pakaian upacara pernikahan untuk wanita.
Masyarakat Baduy memilih pemimpin dengan kriteria yang sudah tua dan paling bijak dalam membawakan sukunya menjadi sukses. Mereka hanya memilih berdasar kriteria itu, tidak ada promosi pemimpin sampai kampanye seperti masyarakat di negara pada umumnya.
Kemudian untuk hukum adat, sama seperti suku lainnya, mereka memiliki bagian sendiri untuk mengurusi orang-orang yang melanggar aturan adat. Hukuman diberikan berdasarkan kategori pelanggaran yang sudah disepakati dari leluhur, mulai dari pelanggaran serius sampai ringan.
- Kampung Cibeo memiliki tugas urusan pelayanan masyarakat Baduy, sosial kemasyarakatan, dan terkait wilayah. Tugas pemerintahan, pertanian, dan komunikasi dengan warga luar juga masuk wewenang masyarakat Cibeo.
- Kampung Cikertawana bertugas sebagai penasihat urusan-urusan keamanan, ketertiban, kesejahteraan, dan pembinaan warga Baduy.
- Kampung Cikeusik bertugas soal keagamaan, pelaksanaan kalender adat, serta memutuskan hukuman bagi pelanggar adat.
Baduy Dalam memilih mempertahankan gaya hidup tradisional mereka sebagai masyarakat agraris. Teknologi modern dibatasi dan aktivitas bertani dilakukan secara tradisional. Mereka hanya memakai segelintir alat pertanian, seperti bedog (golok), arit, kored(cangkul kecil), etem (sejenis ani-ani), dan pisau.
Keteguhan masyarakat Baduy menjaga keseimbangan alam patut dicontoh oleh yang tinggal di kota besar. Larangan dan tabu itu jika ditelisik secara ilmiah ada manfaat positifnya, misal larangan mandi menggunakan sabun, odol, sampo. Bahan-bahan kimia dari cairan itu menyebabkan pencemaran air, limbah plastik kemasannya pun sulit diurai oleh tanah dan mengganggu keseimbangan alam.
Aturan Saat Berkunjung di Baduy Dalam
- Hormati dan Patuhi Aturan Adat Setempat
- Selalu Jaga Kebersihan
- Jangan Tinggalkan teknologi
- Tidak Boleh Mengambil Foto ataupun Merekam Video
- Bawalah bahan Logistik Sendiri
Perbedaan Suku Baduy Luar dan Baduy Dalam
- Baju dan Pengikat Kepala
Baduy Dalam menggunakan baju dan ikat kepala Putih
- Aturan Adat
Baduy Dalam tidak boleh menggunakan kendaran, tidak boleh menggunakan peralatan elektronik dan sabun, tidak boleh menggunakan alas kaki, dan pintu rumah harus menghadap ke selatan
- Pendidikan dan Ekonomi
Baduy dalam masyarakatnya tidak mengenal pendidikan sekolah dan masyarakat tidak diperbolehkan menggunakan uang.
Tata Cara Pernikahan, Politik dan Hukum Suku Baduy
Langkah pertama, orangtua pria akan pergi ke Jaro (Kepala Desa) dengan daun pinang. Kemudian membawa barang-barang seserahan yang di dalamnya terdapat cincin baja putih sebagai mas kawin. Setelah itu, ada beberapa alat untuk rumah tangga dan pakaian upacara pernikahan untuk wanita.
Masyarakat Baduy memilih pemimpin dengan kriteria yang sudah tua dan paling bijak dalam membawakan sukunya menjadi sukses. Mereka hanya memilih berdasar kriteria itu, tidak ada promosi pemimpin sampai kampanye seperti masyarakat di negara pada umumnya.
Kemudian untuk hukum adat, sama seperti suku lainnya, mereka memiliki bagian sendiri untuk mengurusi orang-orang yang melanggar aturan adat. Hukuman diberikan berdasarkan kategori pelanggaran yang sudah disepakati dari leluhur, mulai dari pelanggaran serius sampai ringan.
Mata Pencarian Suku Baduy
Mata
pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani, Mereka menanam padi,
kacang, terong, cabai, pisang, pete, dan jengkol. Selain bertani mereka
juga berkebun, mengolah gula aren dan tenun. dan menjual buah-buahan
yang mereka dapatkan dari hutan seperti durian , asam keranji, serta madu
hutan. Alamnya yang subur dan berlimpah mempermudah suku ini dalam
menghasilkan kebutuhan sehari-hari. Hasil berupa kopi, padi, dan
umbi-umbian menjadi komoditas yang paling sering ditanam oleh masyarakat
Baduy.
Orang Baduy
dilarang menghancurkan tanah dan membelokkan aliran air. Oleh karena
itu, mereka bertani dengan cara tradisional. Mereka tidak menanam padi
di sawah, tetapi di ladang yang mereka sebut huma. Caranya sangat
sederhana. Mereka melubangi tanah dengan tugal yaitu sepotong bambu yang
diruncingkan, lalu ke dalam lubang itu dimasukkan benih tanaman. Benih
itu harus dari hasil tanaman mereka sendiri juga. Untuk menyuburkan
tanah ladang, masyarakat Baduy tidak menggunakan pupuk kimia. Mereka
hanya mau menggunakan pupuk hijau yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan
pupuk kompos dari kotoran hewan. Selain bertani, orang Baduy juga
menangkap ikan di sungai. Mereka menggunakan alat-alat sederhana seperti
kail, bubu, dan jala.
Hasil
pertanian mereka berupa beras bisanya mereka simpan di lumbung padinya
yang ada di setiap desa. Selain beras meraka juga membuat kerajinan
tangan seperti tas koja yang bahannya terbuat dari kulit kayu
yang di anyam ini digunakan Suku Baduy untuk menyimpan segala macam
kebutuhan yang diperlukan pada saat beraktivitas atau perjalanan.
Tradisi menenun ini menghasilkan kain tenun yang digunakan dalam pakaian
adat Suku Baduy. Kain ini bertekstur lembut untuk pakaian namun ada
juga yang bertekstur kasar. Kain yang agak kasar biasanya digunakan
masyarakat Baduy untuk ikat kepala dan ikat pinggang. Selain digunakan
dalam keseharian, kain ini juga diperjualbelikan untuk wisatawan yang
datang berkunjung ke Desa Kanekes. Tidak hanya kain, ada juga kain dari kulit kayu pohon terep yang menjadi ciri khas dari Suku Baduy dalam urusan benda seni.
Selain itu
Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes
secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali
dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur
Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara
masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang
tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar
wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan
jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan
kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan
yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata
uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan
melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak
diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar
wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
No comments:
Post a Comment